Dreaming of Chocolate
06.03
Pagi
ini langit biru memancarkan cerahnya. Sejak langit masih memerah, ia sudah
bercengkrama ria dengan sang mentari. Ditambah sapa riang dari burung merah
kuning yang berjalan di kabel listrik sana.
Mereka tak tersengat arus listrik rupanya. Tahu kenapa?? Tanyakan pada
anak fisika…. ^_^
***
B
|
el sekolah berbunyi.
Bukan tanda pelajaran akan segera dimulai, tetapi nyatanya pelajaran telah
berakhir. Fazka, sebut saja begitu. Dari sejak pagi lelaki berkacamata ini
sudah menantikan bel pulang itu berbunyi. Bukan karena ia ingin cepat sampai di
rumah atau karena ia sudah lelah mendengarkan guru bahasa Perancisnya
berceloteh. Tetapi, ada misi yang ingin ia selesaikan.
“Au
revoir.”
“Au
revoir.” Balas dua puluh murid yang sejak tadi sudah gatal ingin mengucapkan
kata jumpa itu.
Fazka
berlari. Ia memburu bus yang akan membawanya sampai pada gadis kecilnya. Ia
lihat langit pagi yang cerah itu kini berganti kelabu. ‘Aku harus segera
sampai’ pikirnya. Entah apa yang membuat Fazka begitu bersemangat. Yang ia
yakini, ia harus segera sampai.
Ia
masih ingat kejadian tiga bulan yang lalu. Saat ia harus melihat gadis kecil
berambut tipis itu tertidur, menggigil di depan warung kecil milik ibunya.
Gadis itu demam. Tak berpikir panjang, Fazka membawa gadis itu ke rumah
sederhananya. Menidurkannya di atas kasur Palembang butut yang sejak kecil jadi
alas tidur Fazka. Ia tak kuasa membiarkan gadis kecil itu kedinginan. Dengan
berat hati, sang ibu mengizinkan Fazka merawat anak itu di rumah mereka.
“Terserah.
Asal jangan repotkan ibu saja nanti. Hidup kita saja sudah repot, Kaa. Tak usah
kau repotkan lagi hidupmu karena bocah itu. Prihatin, prihatiiiiiin….” Jawab
Ibunya ketus saat Fazka memohon agar gadis kecil itu tetap tinggal menjadi
adiknya.
***
Lima
menit sudah bus yang ditumpangi Fazka berdiam diri. Tak ada pergerakan. Macet.
Ada tabrakan beruntun di pertigaan. Sembilan mobil dan dua motor, Fazka
bergidik mendengarnya.
Sepuluh
menit sudah dan Fazka mulai tak tahan. ’Aku harus segera sampai.’ Ia turun dari
bus. Berlari menyelusuri jalan besar yang kini menjadi sempit karena
terselimuti oleh ratusan kendaraan. Langkah-langkah lincahnya diiringi dengan
irama beat dari klakson-klakson yang seolah-olah minta makan.
Orang-orang
mulai tak tahan. Mereka keluar dari zona nyamannya. Berjalan mendekati lokasi
kecelakaan, sekedar memastikan berapa lama lagi mereka harus menunggu.
Fazka
berlari. Bayangannya masih pada gadis kecil itu. “Siapa namamu?” Tanya Fazka
lembut ketika gadis kecil itu terbangun dari tidurnya. “Ara.” Jawabnya pelan.
“Rumahnya dimana, De?” sekali lagi, Fazka membuat pertanyaan untuk Ara. “Ga
tau.” Suaranya melemah. Ia kembali tertidur dengan baju yang sangat besar. Baju
Fazka.
Empat
hari sudah si kecil Ara tinggal bersama Fazka. Usianya sekitar lima atau enam
tahun, Fazka tak tahu pasti. Hingga sore hari itu datang.
“Araaaa,
coba tebak Kaka bawa apa?” Fazka membuka pintu kamarnya. Dan… yang ia lihat
hanya sesosok gadis kecil berambut tipis yang bersimbah darah. Fazka panik. Ia
lihat darah keluar dari mulut dan hidung gadis kecilnya. Ia berteriak. Berharap
Ibunya ada dan menolongnya.
“Ibuuu….”
Sekali lagi ia berteriak dan ia tetap tak dapat jawaban. Ibunya tak ada.
Tangannya bergetar memastikan jantung Ara masih berdenyut. ‘Ara hidup. Masih
hidup.’ Napasnya memburu waktu. Ia lempar gantungan boneka yang hendak ia
berikan pada Ara. Nanti, jika uangnya sudah banyak, ia akan belikan Ara boneka
yang besar, begitu pikirnya saat membeli gantungan itu di depan sekolah tadi.
Perjalanan
ke Rumah Sakit begitu lancar, tanpa hambatan. Setengah berlari Fazka membawa
gadis kecilnya ke UGD. Ia berteriak meminta pertolongan. Hanya dalam hitungan
detik, beberapa perawat dan dokter langsung menghampirinya. Mengobati Ara, gadis
kecil yang membuatnya iba.
“Ini
Indonesia. Dan di Negara manapun, tak ada yang gratis. Jika ingin gratis ikuti
dulu prosedurnya.” Jawab seorang petugas administrasi Rumah Sakit sinis.
“Ini
Indonesia. Dan di Negara manapun, tak ada yang berhak membunuh satu sama lain.
Obati dulu anak itu, lalu kita bicarakan biayanya. Anda dengar atau tidak?
Dokter bilang lakukan pemeriksaan darah, maka lakukan!!” Bentakan Fazka di
kalimat terakhirnya membuat perhatian tertuju pada mereka. Petugas administrasi
gugup. Matanya tak fokus.
“Lakukan
saja pemeriksaan.” Sambung seorang bapak tua dengah wajah yang teduh,
sepertinya seorang dokter.
***
Rintik
hujan mulai ikut meramaikan suasana di pertigaan jalan. Fazka masih berlari.
Hujan mulai turun. Ia mulai khawatir akan sesuatu dalam tasnya. Ia bergegas.
Sesekali ia harus berloncat menghindari aliran air yang telah bercampur darah.
Merah. Amis.
Kini,
jalanan ini benar-benar telah menjadi panggung musik. Semuanya berduet tanpa
aba-aba, tanpa latihan dan tanpa disengaja. Bunyi klakson, desahan napas,
gemericik hujan, suara music slow, rock, jazz sampai dangdut yang keluar dari
setiap kendaraan. Pertengkaran antar pengendara yang sama-sama lelah menunggu
kemacetan berakhir. Hingga, tangisan keluarga korban kecelakaan serta suara derap
sepatu petugas Rumah Sakit.
Ya,
petugas Rumah Sakit. Fazka menghentikan langkahnya. Kacamatanya basah. Ia
tajamkan matanya. ‘RU-MAH SA-KIT PE-LI-TA.’ Ambulance itu milik Rumah Sakit
Pelita. Ada ide dalam pikirannya. Fazka tiba-tiba berbelok. Masuk dalam area
kecelakaan. Dan ikut terjun membantu membopong satu demi satu korban
kecelakaan. Kini seragam puih abunya berubah warna. Merah. Ia ingat warna itu
adalah warna yang sama saat tiga bulan yang lalu ia harus membawa Ara ke rumah
sakit.
“Kanker
darah. Sepertinya ini genetik.” Dokter bermata teduh itu menjelaskan. “Ade
keluarganya?” Fazka menggelengkan kepalanya. Pikirannya mulai bercabang. Ia ingat
peringatan Ibunya empat hari yang lalu saat ia menemukan Ara. “Kami butuh
penanggung jawab disini, de. Sebab, jika dilihat dari hasil pemeriksaan, ini
stadium akhir. Mungkin, gadis kecil itu takan bertahan lama.” Pernyataan
terakhir dokter itu membuat bendungan air di mata Fazka menetes, mengalir,
menganak pinak. Kini, ia sadar. Gadis kecilnya bukan berambut tipis, tetapi
kanker itu yang sedikit demi sedikit mengambil mahkota gadis kecilnya.
***
Fazka
memang cerdas. Ia menolong korban kecelakaan, dengan begitu ia bisa dengan
mudah masuk ke dalam Ambulance. Ambulance yang akan membawa Fazka sampai pada
Ara. Rumah Sakit Pelita.
Fazka
berlari dengan pakaian yang membuat orang kaget bila melihatnya. Ia dikejar
waktu. Tetesan air amis dari pakaianya mengotori koridor rumah sakit. Ia tiba.
Akhirnya ia tiba. RUANG ICU.
“Kamu
cepet sembuh. Kalo kamu sembuh, Kaka janji beliin kamu apaaa aja.” Fazka
mencoba mengingat janji kecilnya pada Ara. “Aku mau coklat.” Mata bersihnya
bersinar meminta sesuatu dari Fazka. “Kenapa coklat? Kaka beliin boneka aja,
mau? Coklat bisa bikin gigi kamu sakit.” Tawar Fazka kala itu. Ada senyum kecil
saat ia mengingat percakapannya satu bulan yang lalu. Nyawa siapa yang tahu.
Buktinya, setelah tiga bulan Ara menjalani kehidupannya bersama kanker darah
stadium akhir, ia tetap baik-baik saja. Perkiraan dokter meleset.
Fazka masih menunggu di depan ruang ICU, ia belum
boleh masuk. Tubuhya menggigil. Dingin. Semilir angin membawanya kembali pada
masa itu. “Kata Mbak yang jual coklat, semakin banyak dapat coklat, berarti
semakin banyak pula yang sayang sama kita. Mbak penjual coklat itu juga tetep
dapet coklat dari kaka laki-lakinya, padahal dia punya baaaanyak coklat di
tokonya.” Fazka mengerutkan keningnya, kaka laki-laki? Mungkin pacarnya.
“Anak-anak lain dapat coklat dari ibunya. Berarti mereka banyak yang sayang.
Tapi, Ara gak pernah dapat coklat selain dari Mbak Ayu yang jualan coklat itu.
Cuma Mbak Ayu yang sayang sama Ara. Tapi dia juga malah pergi dibawa kaka
laki-lakinya.”
Fazka
menahan sesak mengingatnya. Gadis kecil dengan polos meminta coklat darinya.
Meminta sebuah kasih sayang. Ia membuka tasnya. Basah. Ia keluarkan semua
isinya. Buku-bukunya basah. Kertas ulangan matematika yang dibagikan tadi pagipun
ikut basah. Tintanya menangis. Fazka masih mencari sesuatu dalam tasnya. Dapat.
Ini yang ia cari. Coklat. Walau sedikit lumer dan tak berbentuk.
Dokter
keluar dari ICU. Fazka segera beranjak dari tempat duduknya. “Dia memang hebat.
Gadis kecil terhebat yang pernah saya temui.” Dokter tersenyum, kemudian
berlalu. setelah mengganti seragamnya dengan pakaian bersih khusus pengunjung,
dengan gembira Fazka memasuki ruangan Ara. Gadis kecil itu tertidur manis dalam
kelambunya. Ada semacam plastik pembatas antara Ara dan Fazka kini. Hanya udara
bersih yang ada dalam kelambu atau apalah itu yang membatasi mereka.
Ara
terbangun. Dengan senyum khasnya, Fazka memperlihatkan coklat lumer itu pada
Ara. “Kalau kamu sembuh, coklat ini milik kamu, sayang.” Bergetar ia mengucapkannya.
Ara tersenyum di dalam kelambunya. Ia mengangguk. “Kaka sayang Ara?” kini Fazka
yang mengangguk, ia tak kuasa menahan bendungan di matanya. “Iya, sayang. Kaka
sayang Ara. Ibu juga sayang Ara. Ini coklat buat Ara. Cepet sembuh sayang.”
Fazka kini benar-benar menangis. Gadis kecil berambut tipis itu, kini,
benar-benar tak berambut.
“Ara
juga sayang Kaka. Sayang Ibu juga.” Ia tersenyum. “Sekarang, Ara tidur dulu.
Mau mimpiin coklat dulu. Awas, jangan dimakan coklatnya. Nanti kalau Ara
sembuh, coklatnya pasti Ara makan.” Kembali ia tersenyum. Manja. Fazka hanya
mengangguk dan tersenyum mendengar perkataan gadis kecilnya.
18.03
Hujan
kini mulai reda. Langit kelabu mulai berganti warna. Kemacetan di pertigaan
jalan tadipun sudah menghilang. Begitupun Ara. Kini, ia menghilang, menghilang
dalam tidurnya. Ara tak akan pernah bisa memakan coklatnya. Coklat tanda kasih
sayang Fazka padanya.
Hujan yang mengantarkan
kau padaku. Hujan pula yang membawamu pergi dariku. Dulu, kau tak ada di
hidupku. Sekarangpun sama.
Ara…
mungkin kali ini Tuhan
yang ingin memberikan coklat padamu.
18:42
Kamar
biru, 10 Februari’13
Komentar
Posting Komentar